Sumber gambar: hoodline.com |
Ketika akhir tahun datang,
tepatnya seminggu sebelum akhir tahun, maka Natal menjadi saat yang istimewa.
Ketika itu biasanya orang-orang mulai sejenak melihat ke belakang. Melihat
segala pencapaian. Melihat segala yang belum tercapai. Dan yang paling penting
melihat dosa-dosa yang sudah dilakukan sepanjang setahun tersebut.
Ketika kehidupan terasa sangat
terpuruk di tahun tersebut. Terasa sangat bergelimang dosa, maka Natal menjadi
saat yang indah untuk kembali. Menjadi saat yang indah dan tepat untuk memohon.
Memohon pengampunan atas segala dosa yang telah dibuat dan berjanji untuk tidak
mengulanginya lagi.
Maka, ketika ke gereja saat
Natal. Ketika tiba pada bagian pengampunan dosa yang diucapkan, tak jarang
banyak yang terisak. Banyak yang diam-diam tanpa suara memohon. Banyak yang
diam-diam tanpa suara, berjanji.
Maka itulah kesempatan pertama.
Namun apa daya. Dua hari setelah
Natal, segala persiapan menuju Tahun Baru membuat dosa kembali datang. Kembali
menggelayut dan membuat diri terhanyut. Namun dirinya kembali tersadar dan
kembali teringat akan janji yang pernah diucapkan saat Natal. Dua hari yang
lalu.
Maka Tahun Baru pun menjadi
sarana untuk kembali memohon. Mohon ampun karena lupa akan janji. Mohon ampun
karena dosa kembali terulang. Mohon ampun karena kuasa diri tak mampu
membendung segala kehendak bebas itu.
Maka itulah kesempatan kedua.
Tahun baru segera berlalu.
Kesibukan kembali datang. Karir harus dikejar. Beberapa pencapaian harus
didapat. Ada indikator yang harus dicapai. Ada sejumlah lagi tugas. Dan
sejumlah lagi di bulan berikutnya. Dan sejumlah lagi di bulan berikutnya. Begitu terus tanpa henti.
Maka akhirnya perlu waktu juga
untuk bersenang-senang. Toh, saya
sudah bekerja keras dan ini waktunya untuk menghibur diri. Agar beroleh
semangat baru menghadapi hari yang baru. Menghadapi segudang tugas yang
menanti. Maka dosa pun datang menghampiri. Saat diri sebenarnya dalam keadaan sadar dan
mengerti. Rasa menyesal memang selalu datang terlambat.
Begitu cepat waktu berlalu dan
satupun tak dapat diulang kembali. Maka Paskah tiba. Kebangkitan anak manusia
itu terasa sangat agung. Sedangkan dirinya? Merasa sangat kotor dan terpuruk
jauh. Merasa tak layak untuk mendapatkan segala anugerah yang diberikan secara
percuma itu.
Maka lututpun tanpa sadar bertemu
dengan lantai. Berpadu dengan dua tangan yang saling menggenggam erat. Doa pun
terpanjat. Dengan hati sungguh-sungguh dan gelinang air mata. Mohon ampun atas
segala dosa, dan untuk ketiga kalinya berjanji untuk tak mengulanginya lagi.
Maka itulah kesempatan ketiga.
Hanya tiga kali kesempatan? Terus
urutannya? Bukankah lebih tepat kalau kesempatan pertama ada di awal tahun
sehingga Natal adalah kesempatan ketiga?
Ah, urutan itu kan hanya menurut
saya. Terserah jika ingin dibolak-balik. Lagipula kalau mau jujur, dalam
setahun tak hanya tiga kali kesempatan itu diberikan. Ada 365 hari dalam
setahun sehingga ada 365 kesempatan. Ada 24 jam dalam sehari, yang berarti ada
8,760 kesempatan dalam satu tahun. Ada 60 menit dalam setiap jam yang berarti
ada 1,440 kesempatan dalam satu hari atau 12,614,400 kesempatan dalam satu
tahun. Hanya perlu mengucap dan memohon. Hanya perlu berlutut dan
sungguh-sungguh berdoa “Tuhan ampunilah kami atas kesalahan kami…”
Mau kah menggunakan kesempatan
itu? Atau menggunakan waktu yang ada dengan sia-sia? Kan, ada banyak kesempatan
untuk mohon ampun dan berdoa…
Yakin?
“Ajarlah kami menghitung
hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana…."
(Mzm 90:12)