Sinakma - Wamena - Papua (dok. pribadi) |
Pertanyaan di atas sering
mengemuka sejalan dengan adanya beberapa perubahan cara pandang di organisasi
dimana saya bernaung. Pertanyaan itu hanya satu dari sekian pertanyaan yang
bisa dikembangkan lagi. Contohnya: “Melamar atau ditunjuk?”, “Melayani atau
sekedar Bekerja?”, “Philantrophy (bagi-bagi) atau Community Development?”, dan masih banyak
lagi.
Konon ceritanya dulu, seorang
pengembang masyarakat atau Change Agent adalah seorang yang diutus di
tengah-tengah masyarakat yang paling miskin, paling tertindas, dan paling
membutuhkan bantuan. Bantuan ini bisa macam-macam. Bisa bantuan skill atau
keterampilan agar si masyarakat bisa berkembang dan pada akhirnya akan dapat
menolong dirinya sendiri dan dan akhirnya menolong orang lain, atau bisa berupa
bantuan langsung yang menjawab kebutuhan yang mendesak saat itu.
Perbedaan cara pandang mulai
terasa tatkala organisasi harus berbenah. Dalam proses pembenahan tadi, ada
standar yang harus digunakan. Standar ini termasuk dalam standar perekrutan
karyawan dan bagaimana menghargai karyawan sesuai dengan prestasi dan
kinerjanya. Standar yang digunakan bisa membuat sendiri, bisa mengacu pada
organisasi yang sama di negara lain, atau lebih mudah jika melihat standar yang
digunakan organisasi lain dan menerapkannya di organisasi ini.
Perubahan standar sebenarnya
sah-sah saja dalam sebuah organisasi yang terus berkembang. Hanya, perlu
diperhatikan bagaimana sosialisasinya. Apakah standar baru itu hanya diketahui
oleh orang-orang tertentu saja, atau benar-benar disosialisasikan ke semua
karyawan tanpa kecuali. Setiap karyawan entah itu yang baru bekerja atau yang
sudah lama bekerja, diberikan pemahaman yang sama. Memang sulit mengandalkan
satu level tertentu dalam organisasi untuk melakukan sosialisasi ke seluruh
karyawan. Mengapa? Karena dalam satu level itu ada banyak orang yang
masing-masing mungkin punya cara pandang yang berbeda, tingkat pemahaman yang
berbeda, atau bahkan tingkat… maaf.. kecerdasan yang berbeda pula. Organisasi
yang baik harus bisa mensosialisasikan segala jenis kebijakan, standar, dan
apa-apa yang perlu diketahui karyawan secara terbuka. Setiap karyawan bisa
mengakses informasi yang sama. Bagaimana caranya? Informasi tentang kebijakan harus
berasal dari satu orang yang dipercaya, kemudian diteruskan ke salah satu
level, pastikan setiap orang di level itu paham dan mengerti pesan yang
disampaikan, minta setiap orang pada level tersebut untuk menjelaskan ke staf
yang ada di bawahnya, monitor saat orang pada level tersebut menyampaikan pesan
pada stafnya, apakah pesan yang disampaikan benar-benar sama dengan pesan awal,
pastikan hal yang sama untuk setiap level di bawahnya, demikian seterusnya…
Kembali lagi ke masalah “diutus
atau ditempatkan” tadi, saya pribadi lebih suka menggunakan kata “diutus”.
Dalam hal ini “diutus” bukan oleh organisasi saja, melainkan juga oleh DIA yang
memiliki pelayanan ini. Yang tidak setuju lagi-lagi akan bertanya, “Iya kalau
ini pelayanan, bagaimana kalau ini hanya pekerjaan?”. Nah, kalau sudah begitu
perlu satu artikel lagi untuk menjelaskannya. Mungkin lirik lagu yang satu ini
bisa menjelaskan sedikit:
Kerinduanku slalu
berada di tempat Kau berada
Kerinduanku slalu bekerja seperti Bapaku bekerja
Kudengarkan Tuhan isi hatiMu
saat Kau panggil ku siap
Ini aku utuslah Tuhan
Ini aku utuslah Tuhan
kemana pun Kau pimpin
ke negri yang Kau pilih
Ini aku utuslah Tuhan
dan ku kan pergi
Kerinduanku slalu bekerja seperti Bapaku bekerja
Kudengarkan Tuhan isi hatiMu
saat Kau panggil ku siap
Ini aku utuslah Tuhan
Ini aku utuslah Tuhan
kemana pun Kau pimpin
ke negri yang Kau pilih
Ini aku utuslah Tuhan
dan ku kan pergi
(Franky Sihombing: Ini Aku, Utuslah Tuhan)
Jadi, prinsipnya begini, “Karena ketika kita diutus,
kita tidak peduli lagi kemana kita akan pergi. Yang kita pedulikan hanya satu,
yaitu menyenangkan DIA yang mengutus kita”.
Selamat diutus dan
menyenangkanNYA!
No comments:
Post a Comment